Mencari Hasil Ilmu

Tuesday, September 28, 2010

Khawarij

Khawarij berasal dari kata khuruj yang artinya memberontak. Mereka adalah satu kelompok yang menjadikan pemberontakan terhadap para penguasa sebagai agamanya. Mereka mengkafirkan kaum muslimin dengan dosa-dosa besar, khususnya terhadap para penguasa. Kemudian menghalalkan darah mereka sebagai jalan untuk menghalalkan pemberontakan terhadap mereka. Mereka adalah kaum reaksioner yang berjalan dengan emosinya tanpa didasari ilmu.

Atas dasar itulah mereka berduyun-duyun datang ke Madinah dari Mesir, Kuffah dan Basrah menuju rumah Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu menuntut diturunkannya beliau dari Khilafah. Mereka menuduh Uthman menyelewengkan harta Baitulmal (rasuah), Utsman lebih mementingkan keluarganya (nepotisme), dan lain-lain. Inilah demonstrasi pertama dalam sejarah Islam, yang merupakan sunnah sayyi’ah (contoh yang buruk) dari kaum khawarij. Demonstrasi mereka itu berakhir dengan anarki hingga terbunuhlah Utsman ibnu Affan radhiallahu 'anhu.

Jika manusia terbaik setelah Abu Bakar dan Umar dituduh dengan rasuah dan nepotisme , maka bagaimana mereka akan puas dengan khalifah-khalifah setelahnya, terlebih lagi pemimpin kaum muslim pada zaman kita ini. Dengan kata lain mereka akan tetap tidak pernah puas terhadap pemimpin manapun sampai akhir zaman. Dan mereka akan terus hidup memberontak, membunuh kaum muslimin.

Kita tidak berbicara tentang masa lalu yang sudah berakhir ceritanya. Akan tetapi kita berbicara tentang manhaj khawarij yang masih tetap ada di masa kita ini, meskipun dengan berbagai macam nama dan identitas yang berbeda seperti Jama’ah Islamiyah (JI) , Qutubiyyun dan lainnya. Bahkan mereka kini lebih mengerikan dari pendahulunya, kerana mereka lebih bodoh. Mereka menebar kerusuhan, penculikan, pembunuhan dan lain-lain di negeri-negeri kaum muslimin dengan dalih yang sama: kekafiran, kezaliman, rasuah [korupsi] , kolusi, nepotisme dan seterusnya.


Pengkafiran mereka terhadap sesama kaum muslimin itu didasari oleh syubhat yang mereka yakini sebagai kebenaran iaitu:

“Ancaman Allah (al-wa’id) terhadap orang-orang yang berdosa pasti akan Allah buktikan sebagaimana janji Allah (al-wa’d) pasti akan ditepati”. Mereka menganggap al-wa’d (janji dengan kebaikan) dan al-wa’iid (janji dengan ancaman) , keduanya merupakan janji yang mesti Allah tepati.

Mereka bawakan dalil-dalil tentang janji Allah yang pasti ditepati seperti dalam firman-Nya:


” Sesungguhnya Allah tidak akan menyalahi janji”. (Ali Imran: 9)


Dengan ayat di atas mereka menganggap bahawa semua ancaman Allah dalam al-Qur’an terhadap para pendosa yang bermaksiat, pasti akan ditepati dan ditimpakan kepada pelakunya.


Seperti ancaman Allah bagi orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja dalam ayat-Nya:


”Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya. Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (an-Nisaa’: 93)


Menurut anggapan mereka, seorang mukmin yang membunuh seorang mukmin lainnya pasti akan kekal di dalam Jahannam. Mereka mengkaitkannya dengan hadis Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:

”Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya merupakan kekafiran”. (HR. Bukhari Muslim)


Demikian pula, ancaman Allah bagi orang yang bermaksiat secara umum seperti dalam ayat-Nya:


” Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya”. (al-Jin: 23)


Mereka menganggap telah kafirnya para pelaku maksiat dan dosa-dosa besar, kerana mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam kekal selama-lamanya sebagaimana dalam ayat di atas. Kemudian dikaitkan pula dengan ucapan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:

”Tidaklah berzina seorang pezina ketika berzina dalam keadaan mukmin, tidaklah minum khamr ketika meminumnya dalam keadaan mukmin dan tidak mencuri seorang pencuri ketika mencuri dalam keadaan mukmin”. (HR. Bukhari Muslim)


Mereka menganggap bahwa dalam hadits ini Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menafikan keimanan bagi para pelaku maksiat, yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kafir.
Inilah inti penyimpangan mereka, iaitu:


1. Mereka menganggap sama antara ancaman Allah dan janji-Nya.
2. Tidak membedakan kufur akbar dan kufur ashghar.


Kita jawab syubhat mereka ini dari beberapa sisi:


Pertama : para soleh dari kalangan para shahabat, tabi’in, tabiit-tabi’in berpendapat bahawa terdapat perbedaan antara ancaman dan janji Allah. Jika hal itu merupakan janji, Pasti akan Allah tepati dan tidak mungkin Allah selisihi. Kerana menyelisihi janji merupakan sifat yang teruk dan Allah maha suci dari sifat seperti itu. Berbeza halnya dengan ancaman yang Allah ancamkan kepada orang-orang yang bermaksiat, mungkin saja Allah memaafkan dan mengampuninya. Hal itu merupakan sifat yang mulia bagi Allah, iaitu sifat maghfirah (mengampuni) , rahmah (menyayangi) , al-afuw (memaafkan) , dan lain-lain.


Ahlus sunnah wal jama’ah sejak zaman salaf sampai hari ini berkeyakinan bahawa ancaman Allah boleh saja diterapkan, boleh pula tidak. Dengan kata lain tahtal masyi’ah (di bawah kehendak Allah) . Jika Allah kehendaki Allah akan mengazabnya, dan jika dikehendaki oleh-Nya, Ia akan mengampuninya. Dalilnya adalah ucapan Allah:

”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (an-Nisaa’: 48)


Dalam ayat di atas Allah menyatakan “dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) , bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” menunjukkan bahwa ancaman Allah boleh saja tidak Allah laksanakan kepada pelaku dosa, kerana Allah telah memaafkan dan mengampuninya.


Kedua : bahawa menurut aqidah ahlus sunnah wal jama’ah yang disepakati secara ijma’ adalah bahawa kekafiran itu bertingkat-tingkat. Ada kufur yang mengeluarkan dari Islam iaitu kufur akbar, ada pula kufur yang tidak mengeluarkan dari Islam iaitu kufur ashgar. Atau dengan istilah lain kufur i’tiqadi (dalam keyakinan) dan kufur amali (dalam amalan).


Terkadang Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menyebutkan beberapa dosa sebagai kekafiran, seperti hadis di atas: “Memerangi muslim adalah kekafiran” atau hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:


”Jangan kalian kembali kepada kekafiran, sebahagian membunuh sebahagian yang lain”. (HR. Bukhari dan Muslim)


Yang dimaksud oleh Rasulullah salallahu 'alaihi wasallam adalah kufur amali, iaitu kekufuran kecil yang tidak mengeluarkan dari Islam. Dalil-dalil yang membuktikan hal ini sangat banyak, di antaranya ayat Allah:


”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula) . Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kalian dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (al-Baqarah: 178)


Dari ayat ini kita mendapatkan beberapa faedah:


1. Seorang muslim yang membunuh muslim lainnya disebut dalam ayat ini sebagai “saudara” bagi keluarga terbunuh. Hal ini tentunya menunjukkan persaudaraan keimanan yang berarti dia tidak keluar dari keislaman.


2. Allah sebutkan dalam ayat ini “keringanan” bagi orang yang membunuh tadi setelah diberi maaf oleh keluarganya, yang menunjukkan kalau orang tersebut tidak kafir yang mengeluarkan dari Islam. Kerana tidak ada keringanan bagi orang kafir yang murtad dan keluar dari Islam.


3. Disebutkan pula dalam ayat ini “rahmat”, yang tentunya terkandung di dalamnya ampunan. Ini pun menunjukkan bahawa orang tadi tidak kafir, sehingga masih mungkin mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah.
Bukti lainnya adalah ucapan Allah:

”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kalian damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kalian perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kalian berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. “ (Al-Hujuraat: 9-10)


Dalam ayat ini kita dapatkan beberapa bukti yang menunjukkan bahawa orang yang memerangi atau membunuh seorang muslim tidak kafir keluar dari Islam, di antaranya:


1. Allah menyebutkan dalam ayat ini dua kelompok yang saling berperang adalah orang-orang mukmin.
2. Allah juluki mereka dengan “saudara” yang tentunya yang dimaksud adalah saudara sesama muslim.
3. Allah perintahkan kepada kelompok penengah untuk mendamaikan keduanya dengan kalimat “Damaikanlah antara saudara-saudara kalian”, yang tentunya menunjukkan mereka masih muslimin.
4. Allah memerintahkan kepada kelompok penengah untuk memerangi orang yang tidak mau berdamai (kelompok bughot) sampai kembali kepada perintah Allah. Dan sudah diketahui secara umum bahawa memerangi para bughot adalah hingga mereka mahu kembali dan taat kepada penguasanya. Wanita mereka tidak dijadikan tawanan, harta mereka tidak dianggap sebagai rampasan perang, tidak dikejar orang yang lari, tidak dibunuh orang yang luka dan seterusnya. Ini sangat berbeda dengan memerangi orang orang kafir.

Sebagai ingatan hayatilah hadith di bawah ini.

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ

Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah dia!. (HR. Bukhari).
Wallahu a’lam